GENERASI
‘Sik enak jamanku to…?’ kalimat ini sering
kita baca di bawah atau di samping foto presiden RI yang kedua, penguasa rezim
orde baru selama 32 tahun pada bak-bak truk di jalanan. Munculnya kalimat ini
sebenarnya mewakili kerinduan sekelompok orang pada zaman keterbelakangan yang
indah. Mungkin mereka sudah jenuh mendengar dan melihat hingar-bingarnya dunia
yang entah akan berakhir kapan dan di mana.
Reformasi
mengubah segala-galanya bagi Indonesia, negeri tercinta dengan seribu budaya.
Negeri yang terkenal dengan penduduknya yang ramah menjunjung tinggi
norma-norma kesopanan dengan slogan kemakmuran ‘gemah ripah loh jinawi’. Negara
kita khususnya rakyat Indonesia terlena dengan nina bobok arus globalisasi yang
deras mengalir dan bebas terakses oleh siapa saja, tentang apa saja yang ada di
muka bumi ini dengan bebas tanpa adanya filter sedikitpun dan dari siapapun.
Reformasi telah mengubah sebagian orang menjadi brutal memaknai kebebasan. Di sisi
lain negeri ini bergeliat membangun keterbelakangan selama 32 tahun, derap
pembangunan merata di segala bidang dan menyebar di seluruh pelosok negeri.
Mudahnya orang untuk membuka jendela dunia membuat rakyat semakin maju dan
modern. Yang tidak kalah santernya adalah kata ‘demokrasi dan negara demokrasi’.
Kalau orang sudah mengatasnamakan demokrasi seolah-olah sekelompok golongan
harus menepi.
Dalih
reformasi, dalih demokrasi, dalih negara demokrasi, dalih arus globalisasi dan
dalih-dalih yang lain akankah melunturkan budaya bangsa? Akankah melunturkan
norma kesopanan, norma kesantunan pada generasi penerus bangsa ini? Kalau
dibiarkan tetap seperti sekarang ini, mungkin negeri ini akan kehilangan
generasi bangsa yang memiliki jati diri ketimuran. Kebanyakan orang tua dan
para pendidik sekarang sudah mulai resah
dengan pola pikir dan tingkah laku generasi muda yang mulai luntur norma
kesopanan dan norma kesantunan serta ‘andhap
asor-nya’ terhadap orang yang lebih tua. Tidak sedikit para siswa yang akan
berpaling ketika bertemu dengan gurunya di jalan atau di tempat-tempat umum
yang lain, apalagi jika mereka tidak diajar oleh guru tersebut. Banyak sekali
terdengar kalimat-kalimat siswa yang janggal kepada guru saat bercakap-cakap
karena mereka tidak bisa berbahasa dengan santun. Anak-anak kecil dan para
remaja sudah tidak tahu harus bersikap bagaimana bila bertemu tetangganya yang
lebih tua hingga akhirnya mereka memilih cuek tidak menghiraukan saat berpapasan.
Mereka juga tidak tahu harus bagaimana saat di rumah ada tamu, sementara orang
tuanya masih di dalam rumah hingga sang tamu harus tetap berdiri di depan pintu
rumahnya. Bagaiman dengan bahasa daerah khususnya bahasa Jawa pada generasi
muda sekarang ini? Pertanyaan ini sebenarnya tidak hanya perlu kita jawab,
tetapi perlu tindakan nyata yang serius untuk memperbaiki.
Norma
susila generasi muda bangsa ini juga akan terancam hancur karena belum siap
dengan reformasi dan informasi yang mudah sekali untuk diakses tanpa mampu
menyaring mana yang baik dan mana yang buruk. Tidak bisa dipungkiri kenyataan
yang ada di masyarakat tentang kebrutalan generasi muda sekarang ini, tentang
tidakan kriminalitas serta tindakan asusila yang dilakukan generasi bangsa ini.
Pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan sudah mulai berupaya untuk membangun kembali mental generasi muda agar
memiliki jati diri ketimuran. Meningkatkan norma kesopanan dan norma kesantunan
dengan menggiatkan kembali kepramukaan di lembaga-lembaga pendidikan dengan
status ‘wajib’ pada jenjang pendidikan SMP dan jenjang pendidikan SMA bagi
semua siswa. Penambahan bahasa daerah di jenjang pendidikan SMA pun sudah mulai
diterapkan dengan harapan bahasa daerah ini yang notabene memiliki tingkatan
strata kesopanan berbahasa akan mampu meningkatkan kesopanan siswa dalam
pergaulan sehari-hari dengan siapa saja terutama dengan orang yang lebih tua.
Kegiatan keagamaan lebih ditingkatkan lagi dengan adanya pembacaan kalimah
toyibah, penekanan sholat fardlu berjamaah serta ekstrakurikuler keagamaan lain
di sekolah-sekolah umum.
Upaya
pemerintah ini sebenarnya akan mudah terwujud jika mendapat dukungan sepenuhnya
dari orang tua di rumah. Pada keluarga yang memiliki dedikasi pendidikan yang
tinggi, norma kesopanan tetap dijaga sebagai upaya untuk mempertahankan
nilai-nilai pendidikan susila yang tinggi pula.
Masih
ada generasi yang santun meski tidak banyak. Mereka mendapatkan pendidikan yang
ekstra keras dari orang tuanya. Hal yang demikian dilakukan orang tua mengingat
pengaruh “di luar” sangat tidak mendukung upaya mereka. Mendisiplinkan anak jika
diterima dengan positif hasil yang
dipetik akan luar biasa. Disiplin identik dengan aturan yang keras dan ‘kereng’ bagi anak sebagai generasi muda
bangsa yang tidak memahami makna disiplin. Generasi yang santun juga masih
banyak kita temui di daerah-daerah ‘pinggiran’ yang jauh dari mobilitas kota
metropolitan. Di pondok-pondok pesantren salafiah, sangat banyak ditemui
generasi muda rabbani yang santun.
Berbanding
samakah generasi muda harapan bangsa dan generasi penghancur bangsa ini? Mari
berupaya mewudkan generasi harapan bangsa melalui pendidikan dasar keluarga di rumah
dan pendidikan formal melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan saling
bahu-membahu antara orang tua dan pemerintah.
Mencontoh
negeri sakura, Jepang. Negara yang memiliki teknologi canggih dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta tingkat pendidikan yang maju. Masih
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
dan adat ketimuran serta norma susila. Masyarakat dan generasi mudanya
seakan-akan sudah siap menerima perubahan zaman yang dinamis.
Disiplin
pada semua ruang gerak generasi muda akan mampu menghasilkan generasi bangsa
yang tangguh, siap menerima estafet pembanguanan pemerintahan di segala bidang tanpa
mengurangi nilai-nailai budaya dan adat ketimuran untuk mewujudkan negera
Indonesia yang adil makmur merata di seluruh wilayah negeri tercinta ini.
Mewujudkan kesejahteraan rakyat yang nyata, tata
tentrem karta raharja tanpa membodohi rakyat adalah wujud kesejahteraan
yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar